Jumat, 25 April 2014
Ujian Nasional
Di luar terdengar lagu dangdut murahan dibunyikan keras-keras. Sedangkan aku.. aku menjejalkan lagu korea ke telingaku. Bukan tidak mencintai karya negeri sendiri. Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan akan jatuh kemana. Hari-hari sudah cukup menekan disini tanpa lagu-lagu dangdut itu. Sedikit pelepas ketegangan hanya itu yang aku butuhkan. Alunan lembut suara IU… sejenak… bisa membuatku melupakan badai yang sedang berkecamuk di hati, pikiran dan tubuhku.
Entah kemana idealisme itu sudah kulemparkan. Mungkin seperti batu hitam yang jatuh ke laut dalam atau seperti bumerang milik suku Aborigin yang kini sedang berbalik menyerangku. Yang kulakukan adalah pengkhianatan. Bukan terhadap orang lain, tapi terhadap diriku sendiri. Apakah rupiah itu? Atau memang kelemahan yang sudah lama ada bahkan sebelum idealisme ku menemukan namanya. Hanya karena permintaan menghiba dari seorang kepala sekolah yang juga menjadi korban sistem kemunafikan dalam lembaga pendidikan yang seharusnya didirikan untuk menjadi wadah perubahan dan pencetak para cendikia.
“Tolong lah… Bu. Anak-anak kita tak akan bisa lulus jika mereka harus mengerjakan soal itu sendiri”,
“Kasihan mereka Bu, sebagai guru, inilah yang kita bisa berikan bagi mereka”.
Ya. Satu pertolongan terakhir bagi anak-anak pulau yang lebih gemar bermain dan melaut ketimbang belajar. Toh, mereka semua akan lulus juga. Lihatlah lah coreng moreng itu sekarang. Di tempat ini, mereka malah dibimbing untuk berlaku curang. Salahkah anak-anak itu jika moral mereka terus terdegradasi, di tempat etika seharusnya berlaku mutlak, mereka malah menemukan pelecehan terhadap etika moral dan kejujuran diinjak blak-blakan.
Semua kobaran kemarahan dan idealisme itu padam seperti tersiram air dingin. Aku benci melihat diriku bersusah payah mengerjakan soal-soal sialan itu. Seribu kali!!! Mau jadi apa siswa-siswa itu? Kabupaten yang ingin namanya harum mengambil jalan pintas berbagai rupa. Hemh! Lihat saja jalan yang sudah disediakan itu, berubah menjadi semak belukar. Jalan pintas itu kini sudah serupa jalan tol, lengkap dengan pintu, penjaga dan tarifnya. Kemanakah jalan itu menuju? Ke dunia luar yang memang persis seperti inilah keadaanya, kurang lebih. Apakah cara-cara yang diterapkan memang sudah tepat, mengingat setamatnya mereka dari sekolah, mereka akan terjun dan berbaur dalam masyarakat. Mereka sudah kami ajarkan untuk mengenal kata ‘kompromi’ dan kami didik untuk memahami dengan pasti bahwa ‘tidak ada peraturan yang tidak bisa dilanggar’. Dan trik untuk mencapai sukses dalam hidup.. yaitu… ‘jangan melawan arus’. Mereka juga sudah kami bekali dengan rumus untuk bisa bertahan dalam dunia nyata ‘kejujuran hanya dipakai seperlunya saja’. Karena begitulah yang marak mereka lihat di televisi, jika channel favorit mereka yang menayangkan sinetron kebetulan sedang iklan dan mereka melewati saluran tv yang terus-menerus memutarkan berita. Karena begitulah yang terjadi di indonesia.
Hidup memang pilihan, dan aku sudah memilih untuk ikut terlibat dalam permainan ini. Hanya karena aku tak mau didiskualifikasi karena melanggar peraturan yang sudah ditetapkan, play unfair. Menyadari kalau ternyata aku tidak cukup tangguh untuk bisa berkata ‘tidak’, membungkam suara yang biasa kuteriakkan… aku pun tak jauh berbeda.
Pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan perubahan jaman, itulah yang sedang berlaku saat ini. Bagaimana pendidikan moral bisa diterapkan jika moral para pendidiknya saja masih patut dipertanyakan. Bukan gaji yang besar yang dibutuhkan, tapi jiwa yang berkali-kali lipat lebih besar untuk bisa bertahan dalam profesi ini dan tetap waras. Pelan-pelan… aku sudah mulai membenci anak-anak ini. Di mataku, mereka adalah kertas buram dan lusuh. Bukan kertas putih yang masih kosong yang bisa dicat warna-wani pelangi. Aku mendadak kehilangan kemampuanku untuk melihat sisi putih dari legam kulit mereka. Anak-anak itu sudah menjadi kriminil sejak masih di sekolah dasar. Menyalahkan keluarga dan lingkungan mereka adalah yang kami lakukan disini. Bukan perasaan seperti ini yang ingin aku rasakan ketika memutuskan untuk mengikuti program sm3t. Ottokhe… bagaimana dengan hatiku. Bagaimana dengan idealismeku. Bagaimana nasib pendidikan negeri ini kelak? Tempat ini punya kekuatan untuk membangkitkan seluruh sisi negatifku. Kini aku hanyalah seorang guru yang pesimis dan apatis.
Langganan:
Postingan (Atom)